Tuesday, January 31, 2012

Haruskah semuanya diukur dengan materi?


Tulisan ini berangkat dari elaborasi beberapa kejadian, tontonan, bacaan, dan tentu materi kuliah yang setiap hari seperti tidak sangaja mendoktrin cara berpikir. Haruskah semuanya diukur berdasarkan materi yang dimiliki?

Dimulai dari kemiskinan. Beberapa hari kata ini selalu berkutat di kepala. sebenarnya apakah definisi kemiskinan? Rasanya tidak ada seorang pun atau suatu organisasi pun yang berhak mendefinisikan kemiskinan. Orang ekonomi boleh mendefinisikan kemiskinan dengan indikator penghasilan yang kurang dari sekian rupiah, atau dilihat dari IPM-nya, tapi adilkah itu? haruskah semuanya diukur berdasarkan materi? ketika penghasilan seseorang kurang dari standar2 itu tapi ia tidak pernah merasa dirinya miskin, lantas adilkan ia disebut sebagai ‘orang miskin’? kadang kita  terlalu egois dan ‘sok tahu’ menghakimi hidup seseorang. Jangan2 realitas yang ada selama ini hanya subjektivitas kolektif yang disepakati bersama.
“realitas yang kita pahami adalah realitas subjektif, suatu peta dari wilayah realitas objektif. Saya bukanlah saya apa adanya, melainkan saya adalah apa yang saya percayai. Dunia tidak lain adalah subjektifitas yang disepakati; dunia adalah persepsi kita yang juga dialami orang lain. Seandainya semua manusia diciptakan buta, tentu semua sepakat bahwa dunia adalah gelap gulita. Tidak ada realitas sebelum realitas itu dipersepsi. Kata John Wheeler, ‘alam semesta ini adalah alam semesta partisipatif’. Oleh karena itu, kita perlu segera mengenali lebih baik tentang subjektivitas agar kita tidak terjebak dalam perangkap subjektivitas. Dengan memahami hakikat subjektivitas, kita dapat lebih tepat dan bijak dalam menempatkan kata objektivitas.” (Thoha Faz, 2007)

Masyarakat adat khususnya, seperti masyarakat Badui di Banten atau masyarakat Kampung Naga di Tasik, jika dilihat dari kacamata ‘orang kota’ (entahlah, saya lebih suka menyebut orang2 yang KATANYA modern dengan sebutan ‘orang kota’) pasti mereka tergolong miskin. Tapi adilkah dengan penghakiman seperti itu ketika mereka sendiri tidak pernah merasa diri mereka miskin? Seperti masyarakat Kampung Naga yang menolak listrik masuk ke desanya dengan alasan “kalo listrik masuk, nanti bakal ada kecemburuan sosial, yang kaya bisa aja beli tv, dvd, dan segala macem alat elektronik, padahal belum tentu semuanya bisa”. How wise they are..  pemikiran inikah yang disebut pemikiran miskin, kolot, tradisional, tidak rasional? Menurut saya inilah pemikiran yang lebih modern bahkan dari pemikiran modern yang ada. Kenapa? Karena menurut saya tidak segala hal bisa diukur dengan materi. Idealis kah? Memang.

Coba lihat, betapa kapitalisnya kita sekarang? Ya, kita,, karena saya sendiri sebenarnya masih blur dengan segala elaborasi ini. Kearifan lokal yang sering didengungkan ketika kuliah, toh sepertinya tidak dapat terus berdiri tegak ketika arus modernisasi, industrialisasi, sistem kapitalis serta segala bentuk sistem yang diadaptasi dari dunia barat datang menggempurnya dari segala arah. Tetap masyarakat yang harus berkorban atau mungkin lebih tepatnya dikorbankan dari segala sistem yang dibuat oleh elite.

Mencoba memahami pemikiran pemerintah, ya..entah pemikiran sebelah mana dan pemerintah bagian  mana, tapi mungkin mereka menerapkan kebijkan karena dikejar dateline dari pemerintah pusat. Kenapa? Karena hal ini baru saja terjadi dengan saya. Oh, mungkin lebih tepatnya kita, masyarakat KPM. Dua tahun menelan, mencerna dan coba memahami setiap ilmu yang diberikan, teori-teori yang menurut saya perlahan merubah pola pikir dan cara pandang tentang masyarakat dan dunia sosial, tidak sengaja terdoktrin, namun harus tergadaikan dalam waktu satu minggu demi sebuah kewajiban atas nama mata kuliah Kuliah Kerja Profesi. Ya, proposal KKP. Selama ini diajarkan untuk mengenal dan memahami masyarakat terlebih dahulu serta mengidentifikasi dari sisi masyarakat mengenai kebutuhan yang sebenarnya mereka rasakan sebelum menentukan kebijakan atau program pemberdayaan yang akan dilakukan. tapi nyatanya, teori hanyalah jadi teori ketika semuanya harus berbenturan dengan ‘dateline pengumpulan proposal’. Idealisme seperti tergadaikan, padahal masih jadi mahasiswa. Bagaimana nanti ketika sudah memasuki dunia kerja? Terlalu blur untuk mengatakan bahwa idealisme ini akan tetap terjaga. Begitukah? 

Kembali ke ‘haruskah semua diukur dengan materi?’ Islam sendiri mengajarkan bahwa kekayaan hati jauh lebih penting dibandingkan kekayaan materi. Orang yang kaya hati, walau hidup dengan meteri yang kurang tetap akan merasa dirinya kaya. Sebaliknya..orang yang miskin hati, mau sekaya apapaun dia, tetap saja merasa kurang. Seperti para koruptor terhormat itu, korupsi dengan jabatan yang KATANYA terhormat, pasti mereka orang yang miskin hati!

Saturday, January 14, 2012

Hanya Merasa Harus Melakukannya


Kemarin, 14 Januari, untuk pertama kalinya gue dateng ke JobFair. Tuntutan peran memang. Peran sebagai seorang anak yang pengangguran yang ga mau dibilang ga ada kerjaan dan nganggur lama sama sekitar. Udah mulai bosen ditanyain “uda kerja ya? Kerja dimana Mi sekarang?”. Setengan sedih, setengan kesel, setengah mual, mau ga mau jawab “gue belum kerja” sambil nyengir kuda. Inget! Nyengir kuda! Kuda! *Mendadak emosi gue, sorry

Hmm...sejujurnya gue nofeel bgt ngelakuin jobfair kemarin. No passion, no aim, ga tau ujung harapan gue apa, hasil dari jobfair itu apa, ya, hanya merasa harus melakukannya. Harus dan mau jelas dua kata yang jauh berbeda.

Tanggal 9 kemarin, gue dapet pengumuman Indonesia Mengajar, seneng setengah mati gue nerima email yang bilang kalo gue lolos tahap 1. Kabarnya dari kurang lebih 8500 pelamar, hanya 267 yang lolos tahap 1. How important it is!!! Dan beberapa jam setelah gue nerima kabar bahagia itu, gue malah bingung. 

Gue tau banget gimana dan apa Indonesia Mengajar. Ketika diterima, Pengajar Muda (sebutan untuk mereka yang diterima di Indonesia Mengajar) harus siap ditempatkan dimana saja. Gue tau banget konsekuensi itu. Sayangnya, Ibu gue belum tau! Jangankan konsekuensi yang harus gue jalanin nanti, gue apply Indonesia Mengajar aja Ibu belum tau. Ga tau harus gimana nyampein ke beliau. Gue tau banget, beliau pengen gue kerja di Jakarta, yang bisa pulang balik n tetap tinggal di rumah. Ga pernah sampe hati bilang itu ke beliau. 

Dan sekarang, ngejalanin tahap 2 ini, gue no passion, no aim, ga kebayang gimana ujungnya nanti, gimana harus bilang ke Ibu. Ya, hanya merasa harus melakukannya. Harus dan mau jelas dua kata yang jauh berbeda.
Ini beda banget pas gue ngisi semua essay di form seleksi tahap 1. Ga usah passion or aim, denger Indonesia Mengajar atau Pengajar Muda aja gue udah degdegan parah, saking pengennya, saking ngarepnya, saking yakin ini perjalanan hidup gue selanjutnya setelah lulus kuliah. Ngerjain essay, begadang sampe jam empat juga masih seneng-seneng aja gue lakuin. Karena ini mimpi gue, mimpi besar! Tapi sekarang.. untuk menempuh seleksi tahap 2: hanya merasa harus melakukannya.

Hmm...ini dilematis banget buat gue, satu sisi mimpi yang pengen banget gue perjuangin, satu sisi Ibu pasti sedih banget denger kabar gue ini. Beliau emang ga akan ngelarang gue sacara langsung, tapi gue hampir selalu bisa nengkep dari air muka or mata beliau. Kemudian ini menjadi pertarungan batin, mana yang harus gue pertahanin, ego gue, anak yang belum bisa ngebahagiain Ibu or ego Ibu, yang uda banyak banget ngalah untuk kebahagian gue. Sedih banget ngebayangin ini, sedih!

The End